Maaf, Shaka

“Sesuka itu kamu sama bunganya?” 

Hari ini, Shaka berkunjung ke rumah ku. Dia masih belum berubah ternyata. Ku pikir dengan tiga tahun tinggal di Eropa, ia akan menjadi orang yang berbeda begitu kembali ke rumahnya. Tapi rupanya masih sama, Shaka dengan sifatnya yang apa pun itu, tentang apa pun itu, dia ingin mengetahui segalanya. Denganku, dia tidak menerima yang namanya ‘ada batas untuk hal-hal tertentu’. Tapi tentu saja, aku kebalikan dari dirinya.

“Bisa kita akhiri pertemanan kita?” 
“Lho, kenapa?” Dia mengubah ekspresinya.
“Kamu seenaknya.” kataku dengan sejujurnya.



Shaka itu, aku sudah mengenalnya selama lebih dari satu dekade. Hari itu, keluarganya menjadi tetangga baru, mereka pindahan dari pulau seberang. Mereka membeli rumah yang masih baru, posisinya berhadapan dengan rumah ku. Bandung di tahun itu sedang berada dalam musim yang sering turun hujan.

Seminggu setelah keluarga Shaka menyapa keluarga ku, Ibunya Shaka menitipkan putra sulungnya untuk tinggal sementara di rumah kami. Katanya, beliau dengan suaminya ada pekerjaan ke luar kota yang sifatnya penting. Tidak seperti pekerjaan-pekerjaan sebelumnya yang bisa membawa anak mereka, kali ini tidak. Itulah yang aku dengar. Kala itu, Shaka berumur sembilan tahun. Aku setahun lebih tua darinya. 

“Je, jangan judes gitu ah mukanya.” tegur Mama dengan halus. Meski begitu, itu adalah teguran pertama dari Mama terkait ekspresi ku. Biasanya Mama tidak terlalu memikirkannya. Aku pun tidak terima, sedikit tidak merasa enak karenanya. 

“Kok?” Aku menarik kursi dan mendudukinya, waktunya makan siang. Di meja makan, Mama menyajikan sayur sop dan tempe juga tahu goreng. “Bukannya nggak pa-pa, ya? Biasanya juga aku begini. Mama juga biasanya nggak masalah.” kataku. Lalu aku melihat si anak laki-laki yang duduk anteng di kursi, berhadapan denganku. Ia memegang sendok dan garpu di masing-masing tangannya. Ternyata dia menunggu Mama yang sedang menyajikan makanan untuknya. Lalu aku lihat Mama menghela napas. Selesai memberikan sepiring makanan pada si anak titipan, Mama kembali pada lemari-lemari di dapur, dekat dengan pencucian piring. 

“Iya, Mama tahu. Kayaknya udah setelannya muka kamu dari sananya begitu,” Ada jeda untuk ucapannya. Ku perhatikan terus, sebenarnya apa yang sedang Mama dicari? Makanannya sudah mulai dingin, kenapa tidak duduk dan makan dulu? Lepas sedikit pandanganku, tahu-tahu Mama membawa sesuatu begitu kembali ke meja makan. Beliau kembali melanjutkan, “Tapi hari ini, ada orang baru di rumah kita. Mama enggak mau ya kalau sampai dia takut atau nggak nyaman tinggal di sini hanya karena muka kamu yang kelihatan galak itu.” Mama meneruskan maksudnya. Aku mendengarkan sambil memakan makanan yang sudah dingin. 

Aku bertanya-tanya, apa yang membuat Mama bisa berkata demikian? Apa hanya karena seorang anak laki-laki titipan dari tetangga yang baru tinggal di perumahan ini? Memang siapa anak itu? Ada apa dengannya? Sehingga untuk pertama kalinya, Mama memberiku teguran itu. 

“Shaka ini, anaknya penakut, Je. Kemarin sewaktu Mama main ke rumahnya, Ibunya cerita kalau Shaka sewaktu usianya tujuh tahun, pernah mengalami kekerasan fisik dari pembantu rumah mereka. Cukup berat buat anak seusianya lho, Je. Waktu Mama selesai denger ceritanya, Mama akhirnya tahu alasan kenapa kalau pagi-pagi pas Shaka ada di depan rumahnya terus Mama senyumin, tuh anak malah langsung lari masuk ke dalam. Mana mukanya ketakutan gitu. Mama kira kenapa, ternyata karena kekerasaan itu.” 

Di ruang tengah, di mana ada televisi terpasang, Mama menceritakan sedikit demi sedikit tentang Shaka. Padahal aku awalnya ingin menikmati tayangan televisi, yang sedang menayangkan film Barbie. Rasanya ingin sekali sendirian. Tapi aku tidak bisa untuk tidak peduli. 

“Udah dua tahun dong, Ma?” Pertanyaan ku dibalas anggukan oleh Mama. “Terus, Shaka masih setakut dulu?” tanyaku lagi.

“Mama kurang tahu. Anaknya pendiam sih, diajak ngobrol juga malah cuma ‘hmm...’ gitu anaknya.” Mama... mengeluh? Entahlah. 

“Kamu temenin, ya? Mama ada pertemuan ibu-ibu di rumahnya Bu Mirna. Inget, mukanya jangan galak-galak judes.” Pada akhirnya, yang menjaga siapa, dititipkannya ke siapa. Tapi bener kata Mama, anak tetangga yang baru ini memang pendiam.

Di ruang tamu, di kursi panjang dekat jendela, Shaka tiduran. Tangannya asik memainkan rubik. Rubiknya bukan punya ku, tentu saja. Untuk apa aku menyimpan mainan yang cukup memusingkan? Tidak asik. Mungkin dia membawanya dari rumahnya. 

Aku duduk di kursi yang hanya muat satu orang dewasa. Berhati-hati untuk mengajaknya bicara. Takut-takut begitu aku bersuara, dia lari ketakutan ketika melihatku. Lalu aku bertanya-tanya, ekspresi seperti apa yang harus aku gambarkan? Kata-kata seperti apa yang harus aku ucapkan? 

Tunggu, memangnya ada anak umur sepuluh tahun memikirkan hal-hal demikian? Bukankah anak seumuran itu tahu benar caranya bermain, bersenang-senang? 

Tidak. Tidak semua anak seperti itu.

Lalu aku membiarkan semuanya begitu saja. Dia tidak perlu menatapku. Toh, aku hanya ingin membuatnya tidak sendirian di rumah ini. 

“Namamu Shaka?—Tidak, kau tidak perlu melihatku. Asik saja dengan mainanmu. Mama memberitahu bahwa kamu punya ketakutan mu sendiri. Jadi, cukup dengarkan saja. Dan jawab jika memang itu perlu.” Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, duduk bersila di atasnya, memeluk bantalan yang ada. Lalu anak itu, dia berbaring memunggungi ku. Dia cukup pintar ternyata.

Baiklah... Sekarang, apa?

Aku mengajaknya bicara, atau lebih tepatnya aku berbicara untuknya. Dia hanya menanggapi beberapa hal saja. Seperti memberitahu namanya, makanan kesukaannya, dan apa yang tidak disukainya. Itu saja. Sisanya, dia diam, asik dengan kotak enam warna. 


Berbeda dengan sekarang. Shaka yang berusia sembilan belas tahun ini benar-benar tiada diamnya. Maksudku, dia cukup aktif dari sebelumnya. Perubahan yang membuatku menghela napas. Aku ingin Shaka yang dulu, Shaka sebelum usia lima belas tahun.

“Ayo, kita udahan aja temenannya.” 

“Enggak bisa.” katanya, dia berjalan di area rak-rak buku. “Udah nyaman.” imbuhnya. 

Mendengarnya, aku menghentikan kegiatanku sejenak. Udah nyaman, katanya. Sepuluh tahun memang waktu yang cukup lama. Aku juga bukannya tidak tahu. Aku bukan orang sebodoh itu untuk tidak bisa menyadari ada apa di sekitarku. Tapi aku memang tidak bisa. 

Jari-jari tanganku kembali bergerak menekan keyboard laptop dengan cepat seperti biasa. Sebisa mungkin aku harus membuat suasana di ruangan ini tetap tenang. 

“Di Eropa nggak dapet?” 
“Dapet apa?” Bodoh, ketus ku tanpa suara. 
“Kenyamanan.” Begitu. 

Pekerjaan ku selesai. Ku regangkan tangan ku, dan memijat bahu pelan-pelan. Ada yang membuatku tidak nyaman. Padahal semuanya sudah selesai aku kerjakan. Memutar kursi, aku melihat Shaka bersandar pada lemari. Di tangannya ada sebuket bunga buatan. Dia tersenyum. 

“Enggak ada. Semuanya habis di sini, Je.” Shaka mengatakannya dengan ekspresi yang—bagaimana ya menjelaskannya? Aku tidak cukup pandai dalam hal mengartikan. Tapi sorot matanya, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan. 

Semuanya habis di sini, ya? Lucu sekali rasanya, bagiku. Tapi sekali lagi, aku tidak bisa. Karena mau bagaimanapun, aku lebih tua satu tahun darinya.




—END.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

introducing